Beberapa tahun lalu, dunia kerja diramaikan oleh fenomena job hopping, yaitu kebiasaan berpindah-pindah pekerjaan demi gaji dan posisi yang lebih baik. Kini, muncul tren yang justru berkebalikan yakni job hugging.
Istilah ini menggambarkan kondisi ketika seseorang memilih untuk bertahan (memeluk erat) di pekerjaan saat ini, meskipun ia merasa tidak sepenuhnya puas, karena adanya rasa aman dari sisi finansial di tengah ketidakpastian ekonomi global dan ancaman PHK.
Namun, di balik dilema yang penuh kecemasan ini, para ahli melihat secercah harapan. Fenomena job hugging sejatinya tidak harus menjadi vonis mati bagi karier atau kesehatan mental.
Pertanyaannya, mungkinkah rasa aman yang ditawarkan pekerjaan saat ini diubah menjadi modal utama untuk lompatan besar di masa depan? Lalu, bagaimana cara mengubah ‘pelukan ketakutan’ ini menjadi sebuah strategi yang memberdayakan?
Dosen Prodi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Rini Juni Astuti, menegaskan bahwa loyalitas yang mendasari fenomena ini masih memiliki nilai besar dan dapat diubah menjadi strategi karier yang produktif.
Kuncinya terletak pada sinergi. Pperusahaan wajib mengelola jalur karier, sementara pekerja harus berani mengubah pola pikir dari bertahan pasif menjadi berjuang aktif. Melalui strategi yang tepat, job hugging dapat menjadi fondasi kokoh bagi pengembangan diri di masa depan.
“Perusahaan tidak perlu menghapus job hugging sepenuhnya karena loyalitas tetap bernilai. Namun, fenomena ini harus dikelola dengan baik. Strategi yang bisa dilakukan antara lain membangun jalur karier yang jelas, memperkuat pelatihan, menerapkan rotasi, hingga menghadirkan coaching dan mentoring. Dengan begitu, karyawan tidak sekadar bertahan, tetapi juga produktif,” tegas Rini dikutip dari lldikti5.kemdikbud.go.id.
Dengan kata lain, job hugging yang sehat adalah ketika perusahaan memberikan alat dan peluang bagi karyawan untuk berkembang di dalam lingkup kerja mereka, sehingga rasa aman (stabilitas) dikombinasikan dengan produktivitas.
Mengubah Job Hugging Pasif menjadi Aktif
Rini juga memberikan penekanan penting bagi generasi muda, khususnya yang baru memasuki dunia kerja (Gen Z dan Milenial). Ia menyoroti bahwa job hugging sering kali berakar dari rasa takut terhadap ketidakpastian, padahal kunci keberhasilan karier terletak pada kompetensi dan keberanian menghadapi perubahan.
Ada dua tipe job hugging yang memisahkan antara strategi bertahan yang merusak dan strategi bertahan yang memberdayakan.
1. Job hugging pasif
Ini adalah kondisi di mana pekerja bertahan karena takut dan pasrah, bukan karena ada niat untuk berkembang. Pekerja yang pasif cenderung merasa terjebak, dan sikap ini pada akhirnya berujung pada burnout dan stagnasi karier karena mereka menolak peluang pertumbuhan demi rasa aman semu.
2. Job hugging aktif
Ini adalah strategi yang disarankan, di mana pekerja bertahan secara sadar untuk memanfaatkan stabilitas yang ada sebagai fondasi. Mereka menggunakan rasa aman dan waktu luang yang dimilikinya untuk peningkatan keterampilan (upskilling), membangun aset seperti dana darurat, dan merencanakan langkah karier berikutnya dengan perhitungan yang matang.
Sisi baik job hugging ini hanya bisa diraih jika pekerja tidak sekadar pasif dan takut, melainkan menjadikannya sebagai strategi bertahan yang aktif. Untuk itu, Rini menyarankan agar anak muda berfokus pada mentalitas pertumbuhan alih-alih sekadar bertahan di zona nyaman.
“Anak muda sebaiknya fokus pada pengembangan diri, berani keluar dari zona nyaman, dan membangun mindset karier jangka panjang. Jangan takut dengan perubahan, perluas jejaring, serta kelola keseimbangan antara stabilitas dan pertumbuhan,” katanya.
Leave a Reply