Wacana global tentang Ekonomi Hijau (Green Economy) secara intens berfokus pada inovasi teknologi, investasi swasta skala besar, dan kerangka regulasi pemerintah. Dalam konteks Indonesia, di mana struktur ekonomi kerakyatan masih sangat dominan, benarkah koperasi memiliki kekuatan strategis untuk menjadi penggerak utama transisi menuju ekonomi hijau?
Pemerintah RI tengah memasuki tahap pertama Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 yang pada transformasi ekonomi tahap 1 (2025-2029) salah satunya melalui penerapan ekonomi hijau.
Arah kebijakan ini menandai babak baru pembangunan Indonesia yang tak hanya mengejar pertumbuhan, tetapi juga keberlanjutan dan pemerataan.
Artinya, pembangunan ekonomi tidak lagi semata berorientasi pada peningkatan angka produksi dan investasi, melainkan juga memastikan bahwa pertumbuhan tersebut ramah lingkungan dan memberi manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat. Dalam konteks tersebut, koperasi adalah instrumen nyata untuk mewujudkan transformasi tersebut. Sebagai model bisnis berbasis komunitas, koperasi memiliki fondasi sosial yang kuat.
Hal ini ditegaskan Wakil Menteri Koperasi Farida Farichah dalam acara Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2025 di Jakarta (10/10). Menurutnya, koperasi sebagai business model berkelanjutan memiliki peran strategis dalam mendukung ekonomi hijau melalui penguatan usaha berbasis komunitas dan inklusi ekonomi masyarakat.
Dalam Modul Penerapan Tata Kelola Koperasi Hijau Berbasis Digital dan Teknologi yang disusun Yayasan Rumah Energi bersama Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada (UGM), koperasi dapat menjadi pelaku utama ekonomi hijau dengan mengintegrasikan prinsip Environmental, Social, dan Governance (ESG) ke dalam kegiatan usahanya.
Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola
Pertama, dari sisi lingkungan, koperasi diharapkan memiliki wawasan ramah lingkungan dalam seluruh aktivitas dan pengambilan keputusan. Hal ini dapat diwujudkan melalui efisiensi operasional, penggunaan energi bersih, inovasi kredit hijau seperti pembiayaan energi terbarukan, hingga menolak proyek yang berdampak negatif pada lingkungan. Koperasi juga didorong memberikan pelatihan kepada anggotanya untuk meningkatkan kesadaran terhadap praktik ramah lingkungan.
Kedua, pada aspek sosial, koperasi perlu menumbuhkan lingkungan inklusif dan adil bagi seluruh anggota. Prinsip ini memastikan semua individu, tanpa memandang latar belakang atau gender, memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dan berkembang.
Ketiga, aspek tata kelola menekankan pentingnya manajemen yang transparan, partisipatif, dan akuntabel. Tata kelola yang baik akan meningkatkan kepercayaan anggota, mendorong efisiensi, dan melindungi kesejahteraan keuangan koperasi. Pembagian peran dan tanggung jawab yang jelas antara pengurus, manajemen, dan anggota juga menjadi kunci agar koperasi beroperasi secara sehat dan berkelanjutan.
Dengan mengintegrasikan tiga aspek tersebut, koperasi tidak hanya berperan sebagai lembaga ekonomi rakyat, tetapi juga sebagai model bisnis berkelanjutan yang selaras dengan arah transformasi ekonomi hijau dan inklusif sebagaimana tercantum dalam RPJPN 2025–2045.
Mengutip Antara, ada empat koperasi di Jawa Tengah yang menjadi percontohan koperasi hijau. Empat koperasi tersebut adalah KK Gardu Tani Gedong Songo di Kabupaten Semarang, KSP Qaryah Thayyibah di Kota Salatiga, KSPPS Usaha Syariah Bersama di Kabupaten Pati, dan KSPPS Tekun Syariah Mandiri di Kabupaten Boyolali.
Semangat ini sejalan dengan pandangan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang menilai bahwa UMKM dapat menjadi aktor utama dalam transisi menuju ekonomi sirkular. Penerapan prinsip ekonomi sirkular dalam koperasi merupakan bagian dari upaya menuju ekonomi hijau yang lebih luas.
“UMKM juga dapat menjadi aktor utama dalam transisi ekonomi sirkular. Sebagai contoh bisnis reparasi, pengumpulan barang elektronik bekas, dan bisnis daur ulang limbah,” ujarnya dikutip dari ekon.go.id.
Leave a Reply